Sabtu, 06 Desember 2014

DPR R.I Tak Bersependapat Dengan F-ISBI dan ALJABAR


Kabar Dunia. Jakarta | DPR R.I menyatakan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, dikutif dari isi surat Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 1086.7/PAN.MK/11/2014 perihal Salinan Keterangan DPR RI (20/11/2014), yang dilayangkan kepada Ketua Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (M. Komarudin) selaku Pemohon Judicial Review bersama Al-JABAR di MK.

Dalam surat tersebut menurut DPR RI, Pasal 59 UU Ketenagakerjaan melarang secara tegas untuk mempekerjakan pekerja dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu terhadap jenis pekerjaan yang sifatnya tetap dan merupakan bagian dari pokok kegiatan perusahaan. Selain itu, terdapat juga pembatasan waktu bahwa PKWT paling lama 3 (tiga) tahun. Apabila kedua hal tersebut dilanggar, maka berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, PKWT (Pekerja Kontrak), demi hukum menjadi PKWTT (Pekerja Tetap), ucapnya.

Selain itu juga, rumusan Pasal 65 UU a quo memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh dengan menetapkan syarat-syarat yang dimaksudkan memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh. Penetapan syarat-syarat dimaksud akan menjamin bahwa perlindungan pekerja/buruh yang bekerja pada perjanjian pemborongan tidak akan menerima hak yang lebih rendah dari mereka yang bukan bekerja berdasarkan perjanjian pemborongan, ujarnya.

Selanjutnya dalam rumusan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan secara tegas mengatur tentang jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yaitu dibatasi hanya untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, tegasnya.

Dengan demikian DPR berpendapat bahwa frasa "demi hukum" dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum baik bagi pekerja maupun dunia usaha agar Para Pihak benar-benar memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan dalam Pasal 59, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Oleh karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, pungkasnya.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengeksekusi pemberi kerja yang mengabaikan Nota Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan jika Frasa "demi hukum" pada Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) sepanjang dimaknai "Meniadakan hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan Nota Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial setempat, apabila perusahaan pemberi pekerjaan telah nyata-nyata tidak mengubah PKWT menjadi PKWTT | mengubah status hubungan kerja pekerja/buruh menjadi hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja" ???????? (mdc)
 
sumber : surat mk...

Jumat, 28 November 2014

BURUH MASIH MENJADI PELENGKAP KEBIJAKAN, BELUM MENJADI POKOK KEBIJAKAN

Bekasi- Miris, Penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah kaum buruh belum menjadi pokok kebijakan, baik di Pemerintah maupun Lembaga penyeimbang Pemerintah.

Belum ada kebijakan yang nyata pro terhadap kaum buruh atau lebih dibilang kebijakan yang pokok tentang posisi keberadaan buruh sebagai kelompok mayoritas di Negeri ini. Buruh di Indonesia ini, mungkin bisa diibaratkan seperti gula, yang hanya menjadi pelengkap jika dibutuhkan keberadaannya dan belum menjadi pokok kebutuhan.

Misalkan saja, ketika ingin ngopi bahan pokoknya adalah kopi, dan jika ingin sedikit manis, maka kita tambahkan gula sebagai pemanisnya, begitupun ketika ingin ngeteh, bikin es kelapa, es cendol, dan lain-lainnya, gula dibutuhkan tapi tak terlalu disebut pokok di dalamnya.

Keberadaaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menaungi dan meningkat keberadaan kaum buruh yang bisa diibaratkan bongkahan dari gula yang bisa dipersatukan. Sementara buruh yang tidak atau belum berserikat tidak diubahnya seperti butiran gula pasir yang masih berserakan tetapi juga tetap dipakai sebagai pelengkap pemanis dari sajian makan dan minuman.

Bahkan dalam posisi dan kancah tertentu benar-benar seperti gula yang selalu digerumuti semut-semut politik.

Pada akhirnya bagaimana kita bisa memposisikan posisi kita kaum buruh menjadi sebuah pokok kebijakan bukan lagi sebagai alat pemanis kebijakan dan kepentingan, berpulang pada maunya kita sebagai kaum buruh..-(SA).

Sumber : Bekasi